Friday, 20 December 2013

HUKUM SMOOTHING,REBONDING DAN MEWARNAI RAMBUT DALAM ISLAM

HUKUM SMOOTHING,REBONDING DAN MEWARNAI RAMBUT DALAM ISLAM


Soal smoothing atau rebonding rambut sudah cukup banyak dibahas orang/ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sudah pernah mengeluarkan fatwa soal rebonding rambut. Menurut fatwa MUI yang dikeluarkan pada 2010 itu, rebonding rambut pada dasarnya adalah boleh jika tujuannya baik seperti berhias untuk suami. Kebolehan itu berlaku jika rebonding dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang halal dan baik, dan selama prosesnya tidak membahayakan atau mengakibatkan kerusakan.
Sejumlah ulama kontemporer di Timur Tengah juga memandang bahwa meluruskan atau mengeriting rambut boleh dilakukan.


Persoalan timbul ketika meluruskan atau mengeriting rambut itu dipandang sebagai perbuatan yang mengubah ciptaan Allah. Memang ada ayat al-Qur’an yang dipahami sebagai larangan untuk mengubah ciptaan Allah. Misalnya Q.S. Ar-Rûm (30) ayat  30 yang di dalamnya terdapat ungkapan lâ tabdîla li khalqillâh. Ungkapan itu berarti ‘jangan lakukan (atau tidak dibenarkan) perubahan dalam ciptaan Allah’. Ada juga Q.S. an-Nisâ’ (4) ayat 119 yang menyebutkan sumpah setan: … dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka akan mengubahnya. Selain itu, juga terdapat beberapa hadis Nabi saw. yang melarang perubahan (penambahan atau pengurangan) dalam bentuk fisik manusia. Dalam hadis riwayat Imam Muslim, diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah mengutuk pemakai tato dan pembuatnya, dan orang yang mencabut rambut wajahnya serta si pencabutnya, dan yang mengatur giginya yang mengubah ciptaan Allah.”
Tetapi, ayat 30 surah ar-Rûm itu oleh hampir semua ulama dipahami sebagai larangan mengubah fitrah, yaitu fitrah tauhid, sesuai konteks ayat itu. Bukan larangan mengubah bentuk fisik manusia. Sementara ayat surah an-Nisa’ tidak dipahami sebagai larangan mutlak.
Dulu ada orang musyrik memotong (sebagian) telinga binatang dan membutakan matanya. Allah melarang perbuatan itu. Bukan saja karena itu menyakiti binatang, tetapi juga karena perubahan itu didasarkan atas ajaran yang sesat. Itu sebabnya, kata Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “menyembelih hewan kurban yang buta atau cacat telinganya adalah dilarang, karena adanya kesan bahwa itu adalah hasil perintah setan.” (Tafsir al-Qurthubi 5: 390).
Ayat 119 surah an-Nisa’, memang, merupakan larangan melakukan pengubahan bentuk fisik. Tetapi konteks ayat itu berkaitan dengan hewan, pengubahan yang memperburuk atau menghalangi berfungsinya salah satu anggota badan ciptaan Allah, dan atas dorongan ajaran setan.
Namun demikian, Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur pernah mengeluarkan pendapat bahwa rebonding itu haram. Fatwa itu, kata mereka, lebih ditujukan bagi wanita berstatus single atau belum berkeluarga. FMP3 berpendapat, berdasarkan syariat Islam, seluruh aurat wanita seharusnya tertutup. Wanita diharuskan mengenakan jilbab. Dengan demikian, rebondingbertentangan dengan aturan ini karena umumnya dilakukan demi penampilan menarik yang sengaja dipertontonkan.
Walhasil, dalam hal ini saya kira kita perlu berpedoman pada hadis Nabi saw. berikut: “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak terlalu perlu.” (HR at-Tirmidzi).
Mewarnai rambut, boleh. Dengan warna apa saja kecuali warna hitam. Demikian pendapat mayoritas ulama. Ini didasarkan pada hadis Nabi di mana Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir r.a. bahwa ia berkata, “Pada hari ditaklukannya kota Mekkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.) dibawa menghadap Rasulullah saw. sedang rambut kepalanya putih seperti kapas, maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Bawalah dia ke salah seorang istrinya agar mengubah warna rambutnya dengan sesuatu (bahan pewarna) dan jauhilah warna hitam.’ (HR Muslim).

0 comments: